Notification

×

Iklan

Iklan

MEMBANGUN BUDAYA LITERASI SEJAK DINI

25/04/2022 | 08:28 WIB | 0 Views Last Updated 2022-05-20T05:17:25Z
(Lokasi Foto : Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kab. Banggai Laut)

Enam dampak dari rendahnya budaya literasi adalah kurangnya pengetahuan, meluasnya kemiskinan, tingginya angka putus sekolah, meningkatnya angka kriminalitas, rendahnya produktivitas kerja dan rentannya seseorang dalam menyikapi informasi.

BALUT, TEROPONG BANGGAI - Ketika seorang anak sedang belajar mengeja, maka yang sedang dilakukannya bukan sekedar belajar membaca, melainkan juga sedang membangun sebuah fondasi peradaban. Dari belajar mengeja, suatu saat anak itu akan memiliki keterampilan membaca dan menulis. Keterampilan membaca dan menulis akan mengantarkannya memiliki kemampuan dalam berkomunikasi, memecahkan masalah dan menciptakan karya. Semua hal tersebut berkaitan dengan budaya literasi.
 
Secara sederhana, literasi didefinisikan sebagai keterampilan kognitif dalam membaca dan menulis. Terlepas dari berbagai konsep fungsionalnya, inti dari literasi adalah seseorang terbebas dari buta huruf. Individu memiliki kemampuan (ability) dan kemauan (will) membaca dan menulis.
 
Jika diukur dari segi kemampuan (ability), keterampilan membaca dan menulis masyarakat Indonesia cukup tinggi, meskipun masih terdapat angka buta huruf yang perlu diperhatikan. Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), angka tingkat buta huruf nasional (secara akumulatif) pada tahun 2020 adalah 1,78 persen. Namun jika diukur dari segi kemauan (will), misalnya akses ke perpustakaan, baik secara online maupun offline, minat baca masyarakat Indonesia berada pada posisi sedang. Berdasarkan Kajian Indeks Kegemaran Membaca yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional (Perpusnas) tahun 2020 diketahui bahwa minat baca masyarakat Indonesia masuk dalam poin 55,74 persen atau berada dalam kategori sedang.
 
Beberapa komunitas di tengah masyarakat, seperti Rumah Literasi Indonesia, Kampung baca, KeReadTa, Ayo Dongeng Indonesia, dan lain-lain berlomba-lomba untuk menyalakan kembali minat baca masyarakat. Pemerintah pun tidak mau lengah dan berusaha untuk terus meningkatkan budaya literasi melalui Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang telah berlangsung sejak tahun 2016. GLN merupakan implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, dengan tujuan untuk memberantas buta aksara, meningkatkan daya baca, pengembangan dan pembinaan bahasa, serta untuk memperkuat kerjasama antar unit pelaku gerakan literasi.
 
Namun budaya literasi sejatinya sudah harus dimulai dari keluarga dan harus dimulai sejak anak-anak berusia dini. Budaya membaca buku sudah harus dibiasakan oleh orang tua, sehingga dapat ditiru oleh anak-anak melalui habituasi. Kemudian lingkungan turut mendukung dan menularkannya ke area yang lebih luas. Pihak sekolah juga harus ambil peran dengan membuat program-program yang terarah.
 
Tantangan terbesar dalam membangun budaya literasi di era digital ini adalah kuatnya budaya visual. Situasi ini berbeda dengan tahun 1990-an di mana anak-anak dan remaja terbiasa menulis dan membaca, mulai dari membuat surat, menulis buku harian, membuat cerpen, menciptakan puisi atau membaca komik. Beberapa perpustakaan melihat masalah ini dan mulai mengadaptasi pola buku digital untuk menarik minat baca. Beberapa perpustakaan juga ada yang menerapkan pola hibrida dengan menyediakan buku cetak (hardcopy) dan sekaligus buku elektronik, seperti yang terdapat di beberapa perpustakaan di sekolah dan perguruan tinggi.
 
Lewat kegiatan membaca dan menulis kita bisa melihat dunia. Maka mari tumbuhkan minat baca pada diri kita dan anak-anak sejak dini, agar kita bisa melihat dunia lebih seksama. *AAN
×
Berita Terbaru Update